Kamis, 09 Januari 2014
In:
Coretan Hati
Haruskah Kubunuh Waktu
Tak tik tak tik tak tik ...
Waktu berjalan
Perlahan memisahkan
Tak tik tak tik tak tik ...
Terus bergerak, pasti
Mencipta jarak, sejak pergiku
Haruskah selalu bersamamu
mungkinkah
Tak tik tak tik tak tik ...
Pada ruang kosong itu
Waktu datang, hadirkan diri padamu
Dengarkan segala keluh kesah
Takzim menyimak harapan dan keinginanmu, lalu
Bagai pohon rindang, diteduhi hatimu
Bersandar kau hingga lena, tertidur
Mimpi indah bersama
Mungkin waktu telah mengurungku
Rindu tak terjaga, ingin segera berlari padamu
Tapi, dimanakah kamu
Tiada sapa, tiada senyum
Tak ada pandangan mata
Hanya ruang kosong dan ... nyata terdengar
Detak waktu
Tak tik tak tik tak tik ...
Kekasih, kaukah itu
Sosok yang mencumbu sang waktu
Bahkan punggungmu, enggan menoleh
Berpaling dariku
Hanya kau yang dapat memahami betapa
berharganya kasih, sayang dan ... cinta"
Pujamu merayu sang waktu
Haruskah kubunuh ia
Haruskah kuhabisi sang waktu?
Meski itu berarti, usaikan
Detak sendiri?
Itukah inginmu?
Hujan Deras Menimpa Karang
Hujan Deras Menimpa Karang
Sebenarnya aku hanya lempung, tanah biasa
Waktu menumbuhkanku jadi liat
Tak sesuatu mampu menerobos dalam diri
Tak juga kau yang acap lemahkan hati
Dibawah dera, lahir aku tak terpatahkan
Bersama matahari merangkak, naik ke tinggi gunung
Bermain hingga tepian jurang
Tak perduli pada teriak dan rasa khawatirmu
Tak perduli awan bergulung, langit menghitam
Angin merobohkan pepohon
Menampar dinding-dinding tebing
Tersenyum aku, gerimis membasah
Pada cahaya kilat ketiga, halilintar menggelegar
Mulutku terkatup kaku
Mata tak lagi mampu mengerjap, kepala
Tak mampu menoleh, seluruh tubuh
Tak bergeming, berdiri aku kaku
Arca batu, karang, tertimpa hujan
Lima malam menderas
Sempurna menjadi airmata batinku, sesal
Perut memberontak mengigil, asam menaik
Menggeram terasa belakang kepala, mendenyar
Lalu sirna
Pekat segala
Pada tempat yang paling sunyi
di dasar batin jiwaku
Tanpa suara, tiada cahaya, bermohon aku
Dibawah deras hujan ini
Ijinkan kusyukuri tiap tetes nikmatMu
Agar tak lalai senantiaasa
Minasatene 09/01/04
Read More..
Sebenarnya aku hanya lempung, tanah biasa
Waktu menumbuhkanku jadi liat
Tak sesuatu mampu menerobos dalam diri
Tak juga kau yang acap lemahkan hati
Dibawah dera, lahir aku tak terpatahkan
Bersama matahari merangkak, naik ke tinggi gunung
Bermain hingga tepian jurang
Tak perduli pada teriak dan rasa khawatirmu
Tak perduli awan bergulung, langit menghitam
Angin merobohkan pepohon
Menampar dinding-dinding tebing
Tersenyum aku, gerimis membasah
Pada cahaya kilat ketiga, halilintar menggelegar
Mulutku terkatup kaku
Mata tak lagi mampu mengerjap, kepala
Tak mampu menoleh, seluruh tubuh
Tak bergeming, berdiri aku kaku
Arca batu, karang, tertimpa hujan
Lima malam menderas
Sempurna menjadi airmata batinku, sesal
Perut memberontak mengigil, asam menaik
Menggeram terasa belakang kepala, mendenyar
Lalu sirna
Pekat segala
Pada tempat yang paling sunyi
di dasar batin jiwaku
Tanpa suara, tiada cahaya, bermohon aku
Dibawah deras hujan ini
Ijinkan kusyukuri tiap tetes nikmatMu
Agar tak lalai senantiaasa
Minasatene 09/01/04
Rabu, 08 Januari 2014
In:
Coretan Hati
Lorong Laki laki Bermata Biru
Hingga matahari meninggi masih terus juga ia bekerja. laki-laki bermata biru dengan hati seindah taman, bunga-bunga bakung putih jingga kuncup bermekaran. sesaat sebelum adzan, ia mensucikan diri. khusyu dalam wudhu, lalu sujud yang panjang dalam hening yang tersyukuri
Telah sampai ia pada bagian tanah yang menekuk ke dalam. bagian tanah yang licin dan menggelincirkan. pada seputar lekukan, belukar meliar tiada terkira. tersenyum ia. sejenak menatap ke atas langit, merentang tangan membuka dada, dihirupnya penuh udara. menundukkan diri sepenuh tubuh, dengan lisan basmallah perlahan, menyusup ia masuk ke sela belukar meliar.
Matahari telah mulai turun, saat tersiangi sudah belukar meliar. laki-laki bermata biru itu tertegun, senyum tetap tak lepas, di mukanya nampak satu lorong bagai gua kecil nan purba. celah pada dinding batu bagai rekah kelopak bunga angsana. terselip bagai stalaktit agak di sebelah dalam celah atas, segunduk batu bening, bersih bagai pualam. hampir saja tangan laki-laki bermata biru itu menyentuhnya, saat kembali terdengar suara panggilan
"Astagfirullah haladzim", lisannya mengucap tiga kali, begitu dalam dan perlahan...
Laki-laki bermata biru itu baru saja akan kembali ke tempat ia biasa bersujud, saat pandangnya tertegun. gua kecil purba itu tampak bergerak. sungguh bagai kelopak angsana, ia merekah amat perlahan. membasah di sekujur celahnya, lalu mulai mengelupas dengan amat pelahan. basahan air mulai menetes, dan tangan laki-laki bermata biru itu bergerak terulur. meletakkan telapak tangannya pada celah yang membasah, lalu mulai mensucikan diri
Matahari hampir benam ketika laki-laki bermata biru itu mengakhiri sujudnya. suasana begitu hening, terasa khusyu di dalam batin. laki-aki bermata biru itu tertegun, saat didengarnya tembang ilir-ilir yang biasa ia gumamkan saat kerja. matanya menangkap sedikit sinar menyilaukan dari celah dinding batu. sinar yang menuntunnya ke arah celah gua purba. bagai dilihatnya kembali masa kanak-kanak, dolanan keriangan ... bibir dan batinnya mengucap basmallah perlahan. (selepas salam, laki-laki bermata biru itu telah masuk ke dalam celah gua purba. terus masuk pada lorong, pada sujud berkepanjangan ... dan tak pernah tertampak lagi)
Read More..
Telah sampai ia pada bagian tanah yang menekuk ke dalam. bagian tanah yang licin dan menggelincirkan. pada seputar lekukan, belukar meliar tiada terkira. tersenyum ia. sejenak menatap ke atas langit, merentang tangan membuka dada, dihirupnya penuh udara. menundukkan diri sepenuh tubuh, dengan lisan basmallah perlahan, menyusup ia masuk ke sela belukar meliar.
Matahari telah mulai turun, saat tersiangi sudah belukar meliar. laki-laki bermata biru itu tertegun, senyum tetap tak lepas, di mukanya nampak satu lorong bagai gua kecil nan purba. celah pada dinding batu bagai rekah kelopak bunga angsana. terselip bagai stalaktit agak di sebelah dalam celah atas, segunduk batu bening, bersih bagai pualam. hampir saja tangan laki-laki bermata biru itu menyentuhnya, saat kembali terdengar suara panggilan
"Astagfirullah haladzim", lisannya mengucap tiga kali, begitu dalam dan perlahan...
Laki-laki bermata biru itu baru saja akan kembali ke tempat ia biasa bersujud, saat pandangnya tertegun. gua kecil purba itu tampak bergerak. sungguh bagai kelopak angsana, ia merekah amat perlahan. membasah di sekujur celahnya, lalu mulai mengelupas dengan amat pelahan. basahan air mulai menetes, dan tangan laki-laki bermata biru itu bergerak terulur. meletakkan telapak tangannya pada celah yang membasah, lalu mulai mensucikan diri
Matahari hampir benam ketika laki-laki bermata biru itu mengakhiri sujudnya. suasana begitu hening, terasa khusyu di dalam batin. laki-aki bermata biru itu tertegun, saat didengarnya tembang ilir-ilir yang biasa ia gumamkan saat kerja. matanya menangkap sedikit sinar menyilaukan dari celah dinding batu. sinar yang menuntunnya ke arah celah gua purba. bagai dilihatnya kembali masa kanak-kanak, dolanan keriangan ... bibir dan batinnya mengucap basmallah perlahan. (selepas salam, laki-laki bermata biru itu telah masuk ke dalam celah gua purba. terus masuk pada lorong, pada sujud berkepanjangan ... dan tak pernah tertampak lagi)